Text
Pribumisasi Islam : ikhtiar menggagas fiqh kontekstual
Meminjam ungkapan seorang orientalis, Bernard Lewis, yang mengkritisi keberagamaan orang-orang Islam, saya ingin mengakui secara jujur bahwa ajaran Islam yang saya yakini dan amalkan saat ini belum tentu sesuai dengan ajaran Islam yang pernah diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril. Saya, dan mungkin juga para pemeluk Islam pada umumnya, memulai berislam lewat syahadat. Rumusan kalimat yang pernah dicontohkan oleh Nabi ini memang merupakan pengakuan teologis sebagai simbol bahwa seseorang telah memeluk agama Islam.
Akan tetapi ber-Islam tidak cukup hanya berikrar. Ikrar lisan itu masih harus diikuti oleh keyakinan hati dan amal nyata. Jadi, beragama (Islam) itu adalah beramal nyata berdasarkan tuntunan ajaran yang diyakini dan dikatakan. Sebab Islam sendiri diakui sebagai agama kehidupan. Agama yang menyejarah dalam aliran kehidupan sesuai dengan kultur dan keyakinan. Ia kukuh memegang prinsip, tapi juga bersahabat dengan budaya manusia. Ia tegas memberikan batas-batas, tetapi juga lentur beradaptasi dengan kenyataan. Bahkan sejak pertama kali diwahyukan, Islam telah mengisyaratkan para pemeluknya untuk selalu membaca tanda-tanda alam agar tidak pernah ketinggalan zaman. Wahyu pertama itu pun selanjutnya diikuti oleh ungkapan ajaran-ajaran yang lainnya, yang mengilustrasikan manusia sebagai wujud makhluk ganda, yang senang dengan kehidupan di dunia, japi juga rindu akan keistimewaan surga.
Tapi persoalannya kemudian adalah, apakah beramal agatna itu hanya beribadah sebatas ketentuan tekstual? Apakah makna tekstual yang dipahami seseorang itu dijamin valid sesuai dengan apa yang dimaksudkan Tuhan? Dan apakah seseorang yang taat beragama masih memiliki peluang untuk "meninggalkan" ketentuan tekstual hanya karena tidak mampu menanggalkan pakaian etika lokal?
Tidak tersedia versi lain